Bagaimana Cara Salat Makmum yang Tertinggal Bacaan al Fatihahnya Imam
Bagaimana cara salat makmum yang tertinggal bacaan al Fatihahnya imam? Makmum ketinggalan al fatihah yg dibaca imam di shalat jahr, walaupun basmalah saja, maka si makmum tidak menerima raka’atnya, apakah makmum wajib menyempurnakan shalatnya selesainya imam salam ?
Pendapat yg dikuatkan sang Imam syaukani rahimahullah dalam Nailul Authar bahwa makmum itu harus mendapatkan imam membaca al-fatihah secara lengkap. Pendapat ini dia simpulkan berdasarkan sabda rasulullah shallahu alaihi wassalam:
لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَتِ الكِتَابِ
"Tidak paripurna shalat seseorang yg tidak membaca al-fatihah"
Menurut ulama pada perseteruan ini berbeda-beda sinkron menggunakan perbedaan jenis shalat & syarat dalam mendirikan shalat tadi.
1. Shalat sirriyyah/shalat sendiri yang tidak berjamaah, maka ulama putusan bulat bahwa bacaan al-fatihah merupakan wajib , bahkan rukun shalat, setiap orang harus membacanya,
dua. Shalat jahriyyah & dalam posisi makmum, maka para ulama berselisih pendapat, apakah makmum mendengar bacaan imam atau harus membaca al fatihah?Dan perseteruan ini, pendapat yg lebih bertenaga merupakan makmum tetap berkewajiban membaca al-fatihah. (bisa dibaca sehabis imam/disela-sela bacaan imam).
Tiga. Shalat sebagai makmum akan tetapi pada kondisi masbuq, bila berkemampuan membaca al-fatihah maka lakukan hingga selesai. Tetapi jika tidak tidak terselesaikan membaca dikarenakan imam kebeburu ruku maka ikuti imam ruku walau bacaan al fatihah tidak terselesaikan.
Pada kondisi no.Tiga ini, para ulama berselisih pendapat, apakah makmum tadi mendapatkan raka’at/tidak, dikarenakan ruku sebelum menuntaskan bacaan al-fatihah?
Pendapat yg bertenaga menyatakan bahwasanya makmum tersebut (no.3) menerima 1 rakaat, menurut hadist teman Abu Bakrah yg menerima Nabi shallallahu alaihi wassallam sedang ruku maka beliau bergegas ruku sembari berjalan bergabung ke shaf barisan shalat tuk mengikuti gerakan shalat nabi.
Makmum tertinggal bacaan al fatihah
Pada kisah ini, Nabi tidak memerintahkan shahabatnya Abu bakrah buat mengulang shalat yang beliau tertinggal, tetapi dia hanya mengingatkan Abu bakrah supaya tidak mengulangi sikapnya ruku pada belakang shaf sambil berjalan menuju shaf. Beliau bersabda:
زَادَكَ اللهُ حِرْصًا وَ لاَ تَعُدْ
“semoga engkau bertambah rajin dan janganlah engkau mengulanginya lagi”. (al-Bukhari)
Dengan demikian dapat dipahami bahwa jamaah yg mendapatkan imamnya sedang membaca surat, tentu lebih pantas untuk dipercaya telah mendapatkan raka’at tadi. Terlebih Nabi shallallahu alahi wassalam bersabda:
مَنْ كَانَ لَهُ إِمَامٌ فَقِرَاءَةُ الإِمَامِ لَهُ قِرَاءَةٌ
“barangsiapa mempunyai imam, maka bacaan imamnya adalah bacaannya”. (HR.Ibnu majah dan lainnya).
الإِمَامٌ ضَامِنٌ وَ المُؤَذُّ مُؤْتَمِنٌ
“imam itu menanggung sedangkan muadzin itu merupakan orang yg menerima jujur (buat memilih saat shalat)”. (HR.Abu daud dll).
Sumber :Majalah As-sunnah edisi 01/Thn XVII (ditulis ulang & sedikit gaya penulisan sang admin
Membaca Al Fatihah Dalam Shalat (1)
Yulian Purnama 25 February 2014 tiga Comments
Share on Facebook
Share on Twitter
Membaca Al Fatihah Dalam Shalat (1)
Sudah kita ketahui beserta bahwa Al Fatihah merupakan surat yang agung yg dibaca setiap Muslim dalam shalatnya. Pada artikel kali ini akan dibahas bagaimana hukum membaca Al Fatihah dalam shalat & tata caranya.
Hukum Membaca Al Fatihah
Jumhur ulama menyatakan membaca Al Fatihah merupakan termasuk rukun shalat. Tidak sah shalat tanpa membaca Al Fatihah. Diantara dalilnya merupakan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam
لا صلاةَ لمن لم يقرأْ بفاتحةِ الكتابِ
“tidak terdapat shalat bagi orang yang tidak membaca Faatihatul Kitaab” (HR. Al Bukhari 756, Muslim 394)
didukung juga sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:
كلُّ صلاةٍ لا يُقرَأُ فيها بأمِّ الكتابِ ، فَهيَ خِداجٌ ، فَهيَ خِداجٌ
“setiap shalat yg pada dalamnya tidak dibaca Faatihatul Kitaab, maka dia stigma, maka ia cacat” (HR. Ibnu Majah 693, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibni Majah).
Jadi, membaca Al Fatihah merupakan rukun shalat & inilah yg benar insya Allah.
Adapun Abu Hanifah, beliau beropini bahwa membaca Al Fatihah itu bukan rukun shalat, tidak wajib membacanya. Beliau berdalil dengan ayat:
فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ
“maka bacalah ayat-ayat yg mudah dari Al Qur’an” (QS. Al Muzammil: 20)
Jawabannya, kata فَاقْرَءُو (bacalah) di sini adalah lafadz muthlaq, sedangkan terdapat qayd-nya pada hadits-hadits Nabi yg sudah disebutkan bahwa di sana dinyatakan bacaan Al Qur’an yang wajib di baca pada shalat adalah Al Fatihah. Sesuai kaidah ushul fiqh, yajibu taqyidul muthlaq bil muqayyad, harus membawa makna lafadz yg muthlaq pada yang muqayyad.
Al Fatihah harus pada baca dalam setiap raka’at. Berdasarkan penjelasan Abu Hurairah radhiallahu’anhu berikut:
في كلِّ صلاةٍ قراءةٌ ، فما أَسْمَعَنَا النبيُّ صلى الله عليه وسلم أَسْمَعْناكم ، وما أخفى منا أَخْفَيْناه منكم ، ومَن قرَأَ بأمِّ الكتابِ فقد أَجْزَأَتْ عنه ، ومَن زادَ فهو أفضلُ
“dalam setiap raka’at ada bacaan (Al Fatihah). Bacaan yg diperdengarkan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam kepada kami, sudah kami perdengarkan kepada kalian. Bacaan yang Rasulullah lirihkan telah kami contohkan pada kalian buat dilirihkan. Barangsiapa yg membaca Ummul Kitab (Al Fatihah) maka itu mencukupinya. Barangsiapa yang menambah bacaan lain, itu lebih afdhal” (HR. Muslim 396)
Syaikh Shalih Al Fauzan mengatakan: “membaca Al Fatihah adalah rukun di setiap rakaat, dan telah shahih menurut Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bahwa beliau membacanya pada setiap raka’at” (Al Mulakhash Al Fiqhi, 1/127).
Hukum Membaca Al Fatihah Bagi Makmum
Apakah status rukun & hukum harus membaca Al Fatihah itu berlaku buat seluruh orang yg shalat? Para ulama sepakat wajibnya membaca Al Fatihah bagi imam dan orang yang shalat sendirian (munfarid). Tetapi bagi makmum, hukumnya di perselisihkan oleh para ulama. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin dalam Majmu’ Fatawa war Rasail (13/119) menyampaikan: “para ulama tidak sinkron pendapat mengenai aturan membaca Al Fatihah sebagai beberapa pendapat:
Pendapat pertama: Al Fatihah tidak harus baik bagi imam, juga makmum, ataupun munfarid. Baik shalat sirriyyah1 maupun jahriyyah2. Yang harus adalah membaca Al Qur’an yang gampang dibaca. Yang beropini demikian berdalil dengan ayat (yg artinya) “maka bacalah ayat-ayat yg mudah menurut Al Qur’an” (QS. Al Muzammil: 20) dan juga menggunakan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam pada seorang: ‘bacalah apa yg gampang bagimu berdasarkan Al Qur’an‘” (HR. Al Bukhari 757, Muslim 397).
Pendapat kedua: membaca Al Fatihah merupakan rukun bagi imam, makmum, juga munfarid. Baik shalat sirriyah maupun jahriyyah. Juga bagi orang yg ikut shalat jama’ah sejak awal.
Pendapat ketiga: membaca Al Fatihah itu rukun bagi imam & munfarid, namun tidak wajib bagi makmum secara absolut, baik pada shalat sirriyyah maupun jahriyyah.
Pendapat keempat: membaca Al Fatihah merupakan rukun bagi imam & munfarid pada shalat sirriyyah & jahriyyah. Tetapi rukun bagi makmum dalam shalat sirriyyah saja, jahriyyah nir.” [selesai nukilan]
Ada beberapa pendapat lain dalam masalah ini, namun khilafiyah pada kasus ini berporos pada 3 hal:
Pertama: Adanya perintah buat membaca Al Fatihah dan penafian shalat jika tidak membacanya
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin mengatakan, “membaca Al Fatihah adalah rukun bagi semua orang yang shalat, tidak terdapat seorangpun yang dikecualikan, kecuali makmum masbuq yang mendapati imam telah ruku’, atau menerima imam masih berdiri tetapi telah tidak sempat membaca Al Fatihah beserta imam. Dalilnya merupakan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam
لا صلاةَ لمن لم يقرأْ بفاتحةِ الكتابِ
“tidak terdapat shalat bagi orang yg tidak membaca Faatihatul Kitaab”
sabda beliau ‘tidak terdapat shalat‘ adalah penafian. Asal penafian adalah menafikan wujud (keberadaan), apabila tidak mungkin dimaknai penafian wujud maka maknanya penafian keabsahan. Dan penafian keabsahan itu merupakan penafian wujud secara syar’i. Jika tidak mungkin dimaknai penafian keabsahan maka maknya penafian kesempurnaan. Inilah tingkatan penafian” (Syarhul Mumthi, 3/296).
Syaikh Al Utsaimin melanjutkan, “sabda Nabi ‘tidak terdapat shalat bagi orang yg tidak membaca Faatihatul Kitaab‘ apabila kita terapkan pada tiga jenis penafian tadi, maka kita dapati ada orang yg shalat tanpa membaca Al Fatihah. Sehingga tidak mungkin maksudnya penafian wujud (eksistensi). Sehingga jika terdapat orang yg shalat tanpa membaca Al Fatihah, maka shalatnya tidak absah, karena tingkatan penafian yg ke 2 adalah penafian keabsahan, sebagai akibatnya tidak absah shalatnya, Dan hadits ini umum, tidak dikecualikan sang apapun. Maka pada asalnya, nash yg generik tetap dalam keumumannya. Tidak sanggup dikhususkan kecuali menggunakan dalil syar’i, yaitu nash lain, ijma, atau qiyas yang shahih. Dan tidak ditemukan satu menurut 3 macam dalil ini yang mengkhususkan keumuman hadits ‘tidak ada shalat bagi orang yg tidak membaca Faatihatul Kitaab‘” (Syarhul Mumthi, tiga/297).
Kedua: Adanya perintah buat membisu ketika mendengarkan bacaan Al Qur’an
Diantaranya firman Allah Ta’ala:
وَإِذَا قُرِىءَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Dan apabila dibacakan Al Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik, dan diamlah supaya kamu mendapat rahmat” (QS. Al A’raf: 204).
Imam Ahmad mengomentari ayat ini, beliau mengatakan: “para ulama ijma bahwa perintah yg terdapat pada ini maksudnya pada pada shalat” (Syarhul Mumthi, 3/297).
Juga sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, berdasarkan sahabat Abu Hurairah Radhiallahu’anhu:
إنما جُعل الإمامُ ليؤتمَّ به ، فلا تَختلفوا عليه ، فإذا كبَّر فكبِّروا ، وإذا قرَأ فأنصِتوا
“sesungguhnya dijadikan seorang imam dalam shalat adalah buat diikuti, maka jangan menyelisihinya. Jika ia bertakbir, maka bertakbirlah, jika beliau membaca ayat, maka diamlah” (HR. An Nasa-i 981, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan An Nasa-i, ashl hadits ini masih ada dalam Shahihain)
Tambahan وإذا قرَأ فأنصِتوا (jika ia membaca ayat, maka diamlah), diperselisihkan oleh para ulama. Sebagian ulama berkata ini merupakan tambahan yg syadz, Abu Daud mengungkapkan: “tambahan ini ‘bila beliau membaca ayat, maka diamlah‘ merupakan tambahan yang tidak mahfuzh, yang masih wahm (samar) bagi saya merupakan Abu Khalid”. Sebagian ulama berkata tambahan tersebut adalah tambahan yang tsabit (shahih). Yang rajih, tambahan tersebut tsabit, karena
Abu Khalid perawi hadits tersebut merupakan Sulaiman bin Hayyan Al Ja’fari, beliau statusnya shaduq. Abu Hatim berkata: “dia shaduq”, Ibnu Hajar mengatakan “shaduq yukhthi’”.
Tambahan tersebut mempunyai jalan lain berdasarkan Abu Musa Al Asy’ari Radhiallahu’anhu yang menguatkannya.
Tambahan dalam matan mampu menjadi syadz apabila matannya menyelisihi periwayatan lain yang lebih poly & lebih tsiqah. Adapun tambahan tadi tidak mengandung penyelisihan atau kontradiksi terhadap periwayatan lain yg lebih tsiqah.
Sehingga menurut dalil-dalil ini, sebagian ulama mengatakan bahwa makmum wajib membisu mendengarkan imam membaca Al Fatihah & ayat Al Qur’an.
Ketiga: Dalam shalat sirriyyah makmum wajib membaca Al Fatihah
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani menyatakan, “adapun dalam shalat sirriyyah, para teman sudah menetapkan bahwa mereka biasa membaca Al Qur’an ketika itu. Jabir radhiallahu’anhu mengungkapkan:
كنا نقرأ في الظهر والعصر خلف الإمام في الركعتين الأوليين بفاتحة الكتاب وسورة وفي الأخريين بفاتحة الكتاب
“kami biasa membaca ayat Al Qur’an dalam shalat zhuhur & ashar di belakang imam pada dua rakaat pertama beserta dengan Al Fatihah, & pada dua ayat terakhir biasa membaca Al Fatihah (saja)” (HR. Ibnu Maajah menggunakan sanad shahih dan masih ada dalam Al Irwa’ (506))” (Ikhtiyarat Fiqhiyyah Imam Al Albani, 120).
Sehingga pada shalat sirriyyah makmum permanen harus membaca Al Fatihah secara lirih & dalam hal ini masuk pada keumuman hadits :
لا صلاةَ لمن لم يقرأْ بفاتحةِ الكتابِ
“tidak terdapat shalat bagi orang yg tidak membaca Faatihatul Kitaab” (HR. Al Bukhari 756, Muslim 394)
Demikianlah artikel tentang bagaimana cara salat makmum yang tertinggal bacaan al fatihahnya imam yang semoga bermanfaat.
Seperti dikutip dari muslim.or.id
Pendapat yg dikuatkan sang Imam syaukani rahimahullah dalam Nailul Authar bahwa makmum itu harus mendapatkan imam membaca al-fatihah secara lengkap. Pendapat ini dia simpulkan berdasarkan sabda rasulullah shallahu alaihi wassalam:
لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَتِ الكِتَابِ
"Tidak paripurna shalat seseorang yg tidak membaca al-fatihah"
Menurut ulama pada perseteruan ini berbeda-beda sinkron menggunakan perbedaan jenis shalat & syarat dalam mendirikan shalat tadi.
1. Shalat sirriyyah/shalat sendiri yang tidak berjamaah, maka ulama putusan bulat bahwa bacaan al-fatihah merupakan wajib , bahkan rukun shalat, setiap orang harus membacanya,
dua. Shalat jahriyyah & dalam posisi makmum, maka para ulama berselisih pendapat, apakah makmum mendengar bacaan imam atau harus membaca al fatihah?Dan perseteruan ini, pendapat yg lebih bertenaga merupakan makmum tetap berkewajiban membaca al-fatihah. (bisa dibaca sehabis imam/disela-sela bacaan imam).
Tiga. Shalat sebagai makmum akan tetapi pada kondisi masbuq, bila berkemampuan membaca al-fatihah maka lakukan hingga selesai. Tetapi jika tidak tidak terselesaikan membaca dikarenakan imam kebeburu ruku maka ikuti imam ruku walau bacaan al fatihah tidak terselesaikan.
Pada kondisi no.Tiga ini, para ulama berselisih pendapat, apakah makmum tadi mendapatkan raka’at/tidak, dikarenakan ruku sebelum menuntaskan bacaan al-fatihah?
Pendapat yg bertenaga menyatakan bahwasanya makmum tersebut (no.3) menerima 1 rakaat, menurut hadist teman Abu Bakrah yg menerima Nabi shallallahu alaihi wassallam sedang ruku maka beliau bergegas ruku sembari berjalan bergabung ke shaf barisan shalat tuk mengikuti gerakan shalat nabi.
Makmum tertinggal bacaan al fatihah
Pada kisah ini, Nabi tidak memerintahkan shahabatnya Abu bakrah buat mengulang shalat yang beliau tertinggal, tetapi dia hanya mengingatkan Abu bakrah supaya tidak mengulangi sikapnya ruku pada belakang shaf sambil berjalan menuju shaf. Beliau bersabda:
زَادَكَ اللهُ حِرْصًا وَ لاَ تَعُدْ
“semoga engkau bertambah rajin dan janganlah engkau mengulanginya lagi”. (al-Bukhari)
Dengan demikian dapat dipahami bahwa jamaah yg mendapatkan imamnya sedang membaca surat, tentu lebih pantas untuk dipercaya telah mendapatkan raka’at tadi. Terlebih Nabi shallallahu alahi wassalam bersabda:
مَنْ كَانَ لَهُ إِمَامٌ فَقِرَاءَةُ الإِمَامِ لَهُ قِرَاءَةٌ
“barangsiapa mempunyai imam, maka bacaan imamnya adalah bacaannya”. (HR.Ibnu majah dan lainnya).
الإِمَامٌ ضَامِنٌ وَ المُؤَذُّ مُؤْتَمِنٌ
“imam itu menanggung sedangkan muadzin itu merupakan orang yg menerima jujur (buat memilih saat shalat)”. (HR.Abu daud dll).
Sumber :Majalah As-sunnah edisi 01/Thn XVII (ditulis ulang & sedikit gaya penulisan sang admin
Membaca Al Fatihah Dalam Shalat (1)
Yulian Purnama 25 February 2014 tiga Comments
Share on Facebook
Share on Twitter
Membaca Al Fatihah Dalam Shalat (1)
Sudah kita ketahui beserta bahwa Al Fatihah merupakan surat yang agung yg dibaca setiap Muslim dalam shalatnya. Pada artikel kali ini akan dibahas bagaimana hukum membaca Al Fatihah dalam shalat & tata caranya.
Hukum Membaca Al Fatihah
Jumhur ulama menyatakan membaca Al Fatihah merupakan termasuk rukun shalat. Tidak sah shalat tanpa membaca Al Fatihah. Diantara dalilnya merupakan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam
لا صلاةَ لمن لم يقرأْ بفاتحةِ الكتابِ
“tidak terdapat shalat bagi orang yang tidak membaca Faatihatul Kitaab” (HR. Al Bukhari 756, Muslim 394)
didukung juga sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:
كلُّ صلاةٍ لا يُقرَأُ فيها بأمِّ الكتابِ ، فَهيَ خِداجٌ ، فَهيَ خِداجٌ
“setiap shalat yg pada dalamnya tidak dibaca Faatihatul Kitaab, maka dia stigma, maka ia cacat” (HR. Ibnu Majah 693, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibni Majah).
Jadi, membaca Al Fatihah merupakan rukun shalat & inilah yg benar insya Allah.
Adapun Abu Hanifah, beliau beropini bahwa membaca Al Fatihah itu bukan rukun shalat, tidak wajib membacanya. Beliau berdalil dengan ayat:
فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ
“maka bacalah ayat-ayat yg mudah dari Al Qur’an” (QS. Al Muzammil: 20)
Jawabannya, kata فَاقْرَءُو (bacalah) di sini adalah lafadz muthlaq, sedangkan terdapat qayd-nya pada hadits-hadits Nabi yg sudah disebutkan bahwa di sana dinyatakan bacaan Al Qur’an yang wajib di baca pada shalat adalah Al Fatihah. Sesuai kaidah ushul fiqh, yajibu taqyidul muthlaq bil muqayyad, harus membawa makna lafadz yg muthlaq pada yang muqayyad.
Al Fatihah harus pada baca dalam setiap raka’at. Berdasarkan penjelasan Abu Hurairah radhiallahu’anhu berikut:
في كلِّ صلاةٍ قراءةٌ ، فما أَسْمَعَنَا النبيُّ صلى الله عليه وسلم أَسْمَعْناكم ، وما أخفى منا أَخْفَيْناه منكم ، ومَن قرَأَ بأمِّ الكتابِ فقد أَجْزَأَتْ عنه ، ومَن زادَ فهو أفضلُ
“dalam setiap raka’at ada bacaan (Al Fatihah). Bacaan yg diperdengarkan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam kepada kami, sudah kami perdengarkan kepada kalian. Bacaan yang Rasulullah lirihkan telah kami contohkan pada kalian buat dilirihkan. Barangsiapa yg membaca Ummul Kitab (Al Fatihah) maka itu mencukupinya. Barangsiapa yang menambah bacaan lain, itu lebih afdhal” (HR. Muslim 396)
Syaikh Shalih Al Fauzan mengatakan: “membaca Al Fatihah adalah rukun di setiap rakaat, dan telah shahih menurut Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bahwa beliau membacanya pada setiap raka’at” (Al Mulakhash Al Fiqhi, 1/127).
Hukum Membaca Al Fatihah Bagi Makmum
Apakah status rukun & hukum harus membaca Al Fatihah itu berlaku buat seluruh orang yg shalat? Para ulama sepakat wajibnya membaca Al Fatihah bagi imam dan orang yang shalat sendirian (munfarid). Tetapi bagi makmum, hukumnya di perselisihkan oleh para ulama. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin dalam Majmu’ Fatawa war Rasail (13/119) menyampaikan: “para ulama tidak sinkron pendapat mengenai aturan membaca Al Fatihah sebagai beberapa pendapat:
Pendapat pertama: Al Fatihah tidak harus baik bagi imam, juga makmum, ataupun munfarid. Baik shalat sirriyyah1 maupun jahriyyah2. Yang harus adalah membaca Al Qur’an yang gampang dibaca. Yang beropini demikian berdalil dengan ayat (yg artinya) “maka bacalah ayat-ayat yg mudah menurut Al Qur’an” (QS. Al Muzammil: 20) dan juga menggunakan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam pada seorang: ‘bacalah apa yg gampang bagimu berdasarkan Al Qur’an‘” (HR. Al Bukhari 757, Muslim 397).
Pendapat kedua: membaca Al Fatihah merupakan rukun bagi imam, makmum, juga munfarid. Baik shalat sirriyah maupun jahriyyah. Juga bagi orang yg ikut shalat jama’ah sejak awal.
Pendapat ketiga: membaca Al Fatihah itu rukun bagi imam & munfarid, namun tidak wajib bagi makmum secara absolut, baik pada shalat sirriyyah maupun jahriyyah.
Pendapat keempat: membaca Al Fatihah merupakan rukun bagi imam & munfarid pada shalat sirriyyah & jahriyyah. Tetapi rukun bagi makmum dalam shalat sirriyyah saja, jahriyyah nir.” [selesai nukilan]
Ada beberapa pendapat lain dalam masalah ini, namun khilafiyah pada kasus ini berporos pada 3 hal:
Pertama: Adanya perintah buat membaca Al Fatihah dan penafian shalat jika tidak membacanya
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin mengatakan, “membaca Al Fatihah adalah rukun bagi semua orang yang shalat, tidak terdapat seorangpun yang dikecualikan, kecuali makmum masbuq yang mendapati imam telah ruku’, atau menerima imam masih berdiri tetapi telah tidak sempat membaca Al Fatihah beserta imam. Dalilnya merupakan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam
لا صلاةَ لمن لم يقرأْ بفاتحةِ الكتابِ
“tidak terdapat shalat bagi orang yg tidak membaca Faatihatul Kitaab”
sabda beliau ‘tidak terdapat shalat‘ adalah penafian. Asal penafian adalah menafikan wujud (keberadaan), apabila tidak mungkin dimaknai penafian wujud maka maknanya penafian keabsahan. Dan penafian keabsahan itu merupakan penafian wujud secara syar’i. Jika tidak mungkin dimaknai penafian keabsahan maka maknya penafian kesempurnaan. Inilah tingkatan penafian” (Syarhul Mumthi, 3/296).
Syaikh Al Utsaimin melanjutkan, “sabda Nabi ‘tidak terdapat shalat bagi orang yg tidak membaca Faatihatul Kitaab‘ apabila kita terapkan pada tiga jenis penafian tadi, maka kita dapati ada orang yg shalat tanpa membaca Al Fatihah. Sehingga tidak mungkin maksudnya penafian wujud (eksistensi). Sehingga jika terdapat orang yg shalat tanpa membaca Al Fatihah, maka shalatnya tidak absah, karena tingkatan penafian yg ke 2 adalah penafian keabsahan, sebagai akibatnya tidak absah shalatnya, Dan hadits ini umum, tidak dikecualikan sang apapun. Maka pada asalnya, nash yg generik tetap dalam keumumannya. Tidak sanggup dikhususkan kecuali menggunakan dalil syar’i, yaitu nash lain, ijma, atau qiyas yang shahih. Dan tidak ditemukan satu menurut 3 macam dalil ini yang mengkhususkan keumuman hadits ‘tidak ada shalat bagi orang yg tidak membaca Faatihatul Kitaab‘” (Syarhul Mumthi, tiga/297).
Kedua: Adanya perintah buat membisu ketika mendengarkan bacaan Al Qur’an
Diantaranya firman Allah Ta’ala:
وَإِذَا قُرِىءَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Dan apabila dibacakan Al Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik, dan diamlah supaya kamu mendapat rahmat” (QS. Al A’raf: 204).
Imam Ahmad mengomentari ayat ini, beliau mengatakan: “para ulama ijma bahwa perintah yg terdapat pada ini maksudnya pada pada shalat” (Syarhul Mumthi, 3/297).
Juga sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, berdasarkan sahabat Abu Hurairah Radhiallahu’anhu:
إنما جُعل الإمامُ ليؤتمَّ به ، فلا تَختلفوا عليه ، فإذا كبَّر فكبِّروا ، وإذا قرَأ فأنصِتوا
“sesungguhnya dijadikan seorang imam dalam shalat adalah buat diikuti, maka jangan menyelisihinya. Jika ia bertakbir, maka bertakbirlah, jika beliau membaca ayat, maka diamlah” (HR. An Nasa-i 981, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan An Nasa-i, ashl hadits ini masih ada dalam Shahihain)
Tambahan وإذا قرَأ فأنصِتوا (jika ia membaca ayat, maka diamlah), diperselisihkan oleh para ulama. Sebagian ulama berkata ini merupakan tambahan yg syadz, Abu Daud mengungkapkan: “tambahan ini ‘bila beliau membaca ayat, maka diamlah‘ merupakan tambahan yang tidak mahfuzh, yang masih wahm (samar) bagi saya merupakan Abu Khalid”. Sebagian ulama berkata tambahan tersebut adalah tambahan yang tsabit (shahih). Yang rajih, tambahan tersebut tsabit, karena
Abu Khalid perawi hadits tersebut merupakan Sulaiman bin Hayyan Al Ja’fari, beliau statusnya shaduq. Abu Hatim berkata: “dia shaduq”, Ibnu Hajar mengatakan “shaduq yukhthi’”.
Tambahan tersebut mempunyai jalan lain berdasarkan Abu Musa Al Asy’ari Radhiallahu’anhu yang menguatkannya.
Tambahan dalam matan mampu menjadi syadz apabila matannya menyelisihi periwayatan lain yang lebih poly & lebih tsiqah. Adapun tambahan tadi tidak mengandung penyelisihan atau kontradiksi terhadap periwayatan lain yg lebih tsiqah.
Sehingga menurut dalil-dalil ini, sebagian ulama mengatakan bahwa makmum wajib membisu mendengarkan imam membaca Al Fatihah & ayat Al Qur’an.
Ketiga: Dalam shalat sirriyyah makmum wajib membaca Al Fatihah
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani menyatakan, “adapun dalam shalat sirriyyah, para teman sudah menetapkan bahwa mereka biasa membaca Al Qur’an ketika itu. Jabir radhiallahu’anhu mengungkapkan:
كنا نقرأ في الظهر والعصر خلف الإمام في الركعتين الأوليين بفاتحة الكتاب وسورة وفي الأخريين بفاتحة الكتاب
“kami biasa membaca ayat Al Qur’an dalam shalat zhuhur & ashar di belakang imam pada dua rakaat pertama beserta dengan Al Fatihah, & pada dua ayat terakhir biasa membaca Al Fatihah (saja)” (HR. Ibnu Maajah menggunakan sanad shahih dan masih ada dalam Al Irwa’ (506))” (Ikhtiyarat Fiqhiyyah Imam Al Albani, 120).
Sehingga pada shalat sirriyyah makmum permanen harus membaca Al Fatihah secara lirih & dalam hal ini masuk pada keumuman hadits :
لا صلاةَ لمن لم يقرأْ بفاتحةِ الكتابِ
“tidak terdapat shalat bagi orang yg tidak membaca Faatihatul Kitaab” (HR. Al Bukhari 756, Muslim 394)
Demikianlah artikel tentang bagaimana cara salat makmum yang tertinggal bacaan al fatihahnya imam yang semoga bermanfaat.